TUGAS 7
PENATAAN
PERMUKIMAN DISEPANJANG SUNGAI
GARIS SEMPADAN
SUNGAI
PENGERTIAN
SUNGAI
Sungai adalah alur atau wadah air
alami dan atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air didalamnya,
mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis
sempadan.
BANTARAN SUNGAI
Bantaran
sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam
yang terletak dikiri dan kanan palung sungai.
GARIS SEMPADAN
Garis
sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan
sebagai batas perlindungan sungai.
PERATURAN
PP NO 38 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI & PM (PUPR) NO 28
TAHUN 2015
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 Pasal 11, jarak
minimal sempadan di sungai bertanggul hanya sejauh tiga meter. Namun peraturan
itu diperbarui dengan Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR) Nomor 28/PRT/M tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sugai
dan Garis Sempadan Danau. Di peraturan baru tersebut, sempadan sungai
bertanggul di kawasan perkotaan minimal berjarak 10 meter dari palung sungai.
PM (PUPR) NO 28 TAHUN 2015
Bagian Keempat
Pemanfaatan Daerah Sempadan
Pasal 11
(1) Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh
masyarakat untuk
kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut :
a. Untuk budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang
diijinkan.
b. Untuk kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan.
c. Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan
peringatan, serta
rambu-rambu pekerjaan.
d. Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan
pipa air minum
e. Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana
jalan/jembatan baik umum
maupun kereta api.
f. Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat
social dan masyarakat
yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan
keamanan
fungsi serta fisik sungai.
g. Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan
pengambilan dan
pembuangan air.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), harus memperoleh izin
terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang atau pejabat yang
ditunjuk olehnya, serta
syarat-syarat yang ditentukan.
(3) Pejabat yang berwenang dapat menetapkan suatu ruas
di daerah sempadan untuk
membangun jalan inspeksi dan/atau bangunan sungai yang
diperlukan, dengan
ketentuan lahan milik perorangan yang diperlukan
diselesaikan melaui pebebasan
tanah.
Pasal 12
Pada daerah sempadan dilarang :
a. Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.
b. Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan
tempat usaha.
CONTOH BERITA
“Menata
Kali sebagai Halaman Depan Jakarta”
JAKARTA, KOMPAS.com - Kali yang kumuh, kotor, dan penuh
sampah itu mulai berubah. Proyek normalisasi telah mengubah sebagian wajah kali
meski sebagian besar masih bopeng-bopeng. Bukan hanya sebagai upaya mengatasi
banjir kali-kali itu berubah menjadi ruang publik atau ruang terbuka hijau baru
di tengah kian menyusutnya area publik Ibu Kota.
Sebagai bagian dari proyek penanganan banjir, pemerintah
melakukan normalisasi Kali Pesanggrahan dan sejumlah kali lainnya. Pesanggrahan
mengalir sepanjang 66,7 kilometer dari hulunya di Gunung Salak, Kabupaten
Bogor. Rencana normalisasi dilakukan sepanjang 26,7 kilometer badan kali.
Normalisasi juga berlangsung, antara lain, di Kali Angke Hulu
dan Sunter. Pengerjaan normalisasi Kali Angke Hulu sepanjang 20 km, sedangkan
Kali Sunter sepanjang 18,75 km.
Selain pengerukan, pekerjaan normalisasi berupa penguatan
tebing, pintu air, dan saluran gendong, serta pembangunan jembatan dan
pembuatan jalan inspeksi. Tanggul kali yang bersih dan jalan inspeksi yang
mulus, serta penanaman pohon-pohon penghijauan, kini menjadi tempat favorit
berkumpulnya warga.
Kali Pesanggrahan di seberang Tempat Pemakaman Umum Tanah
Kusir, misalnya, kini tak lagi angker. Banyak warga menjadikan embung yang baru
dibangun sebagai tempat memancing. Jalan inspeksi yang mulus, selain menambah
akses warga, juga dimanfaatkan untuk berjalan-jalan dan berolahraga.
Kondisi kali yang bersih itu turut mengubah sebagian ”budaya”
buruk warga. ”Dulu warga suka buang sampah di kali. Setelah bersih, kita jadi
malu buang sampah sembarangan,” kata Jumanta (54), warga RT 012 RW 002,
Pesanggrahan, yang rumahnya di tepi kali.
Tak hanya di Pesanggrahan, manfaat perubahan wajah kali juga
lebih dulu terjadi di sebagian ruas Cisadane dan Kanal Timur. Penambahan ruang
publik sudah dirasakan warga Kota Tangerang melalui penataan salah satu tepian
Kali Cisadane.
Tepian kali yang berada di depan kawasan Pasar Lama
Tangerang, misalnya, setiap sore kini dipadati warga yang bersantai, memancing,
berolahraga, atau jajan di pedagang kaki lima.
Irna (18), salah seorang pengunjung, senang menghabiskan
waktu di tepi Cisadane yang tertata rapi. Tata kota yang rapi membuatnya merasa
nyaman meskipun sekadar menikmati es cendol di tepi sungai.
”Baru beberapa kali main ke sini, biasanya cuma mampir. Di
sini enak, nyaman buat nongkrong,” kata Irna.
Di tepi Kali Krukut, Mampang Pela, Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan, warga bahkan membangun tempat duduk dan kanopi. Setiap sore lokasi itu
dipenuhi warga yang duduk dan bercengkerama bersama. Herman (52), warga
setempat, mengatakan sering berolahraga di dekat sungai. ”Refreshing biar tidak
bosan,” katanya.
”Water front city”
Kepala Bagian Protokol Kota Tangerang Sugiharto Ahmad Bagja
menuturkan, penataan kawasan Pasar Lama Tangerang sudah dimulai sejak 2008.
Pembangunan trotoar di tepi kali sudah terealisasi sepanjang sekitar 1,3 km.
Menurut dia, arah pembangunan di kawasan itu adalah water front city atau kota
yang menghadap ke sungai.
Rumah-rumah dan pertokoan ditata supaya menghadap ke sungai.
Dengan demikian, pemandangan tepi kali harus diubah menjadi lebih bagus. ”Kalau
menghadap ke sungai, warga akan sungkan membuang sampah ke kali. Ini berbeda
kalau rumah mereka membelakangi sungai, mereka akan anggap sungai adalah tempat
pembuangan,” ujar Sugiharto.
Pada bagian sisi kali yang belum tertata, Pemkot Tangerang
juga berencana membangun turap. Setelah terbangun turap, pemerintah juga akan
menata trotoar tepi kali (promenade). Pemkot Tangerang berharap kawasan
bersejarah ini bisa dipelihara dan menjadi daya tarik bagi wisatawan. Pasalnya,
di lokasi ini banyak bangunan bersejarah dari warga Cina Benteng atau Cina
peranakan.
Penataan Kanal Timur juga menjadikan saluran air itu area
publik yang aktif digunakan warga untuk olahraga dan berkumpul. Sejak digunakan
sebagai pengendali banjir sekitar 2010 lalu, Kanal Timur juga ditata sebagai
ruang terbuka hijau. Berbagai macam pohon ditanam di area trase kering di
sepanjang kanal itu. Hijau menaungi kanal yang sebelumnya adalah kawasan
perkampungan itu.
“Menata
Kota Tidak Harus dengan Menggusur Kampung”
JAKARTA, KOMPAS.com - Pola penataan pemukiman di bantaran
sungai seperti Sungai Ciliwung harus diubah. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
Jakarta seharusnya tidak perlu menggusur kawasan di sekitar Sungai Ciliwung,
meski dinilai kumuh.
"Penduduk masih bisa tinggal di situ. Maksudnya tidak
digusur bukan berarti tetap begitu saja, tapi diperbaiki," ujar arsitek
sekaligus perencana perkotaan dari Rujak Center for Urban Studies Marco
Kusumawijaya di Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Menurut dia, jika ingin membereskan perkampungan kumuh di
bantaran kali, bisa dengan memundurkan letak rumah-rumah.
Dengan demikian, waarga tidak perlu harus tinggal jauh dari
tempat tinggal awalnya, apalagi harus memakan jarak hinga 20 kilometer.
Hal ini, kata Marco, telah diterapkan di Surabaya. Di sana,
area kampung warga dipotong sebanyak 3 meter dari bantaran sungai.
Setelah diperbaiki dan dibangun kembali, rumah-rumah
menghadap sungai. Menurut dia, cara ini merupakan rehabilitasi di tempat atau
on site rehabilitation.
"Tapi memang untuk itu, orang harus repot. Sementara
pemerintah kebiasaan tidak mau repot, maunya yang gampang saja. Karena cara ini
memang perlu ketelitian," kata Marco.
Meski demikian, tambahnya, soal teknis bisa diserahkan pada
arsitek. Pasalnya, hal ini sudah dilakukan.
Dengan mundur tiga meter dari sungai, rumah di pinggir bisa
diletakkan di atas rumah yang di belakangnya atau dengan kata lain
ditingkatkan.
Jika ada pertimbangan air masuk, secara perhitungan mungkin
hanya terjadi dalam 2 minggu setiap tahun, seperti di Bukit Duri. Jadi ketika
surut, area tersebut kembali seperti semula.
Marco menambahkan, kota memang selalu menjadi tempat yang
padat sehingga tidak mudah bagi masyarakat miskin untuk mencari ruang.
Oleh karena itu, tanah negara tetap boleh dipakai oleh rakyat
dengan berbagai macam teknik atau hak.
"Sungai-sungai didempetin sama rumah, di mana-mana juga
ada. Di Eropa juga banyak. Seperti di Venice, Italia, rumah-rumah menempel
pinggir air tidak masalah," jelas Marco.
Menurut dia, yang menjadi masalah bukanlah menempel atau
tidaknya antara sungai dan rumah.
Namun, perhitungan volume dan kedalaman air sungai. Tidak
hanya itu, yang juga harus diperhitungkan adalah apa saja yang dibuang di
sungai.
Perlu diingat, kata Marco, sampah bukan hanya berasal dari
rumah sekitar sungai, tetapi bisa jadi dari orang-orang yang tinggal jauh dari
sungai.
"Tidak benar kalau menuduh yang mengotori sungai hanya
orang yang tinggal di pinggir sungai. Kalau ada statement yang buang sampah
hanya orang yang tinggal di pinggir sungai itu bodoh, menurut saya,"
tandas Marco.
“Jalan
Inspeksi Mookervaart Itu Mengubah Kehidupan Warga”
Oleh: Agnes Rita S/Pingkan Elita Dundu
Sebelum ada jalan inspeksi Kali Mookervaart, pintu rumah
Sukadi (61) menghadap ke gang sempit selebar 1,5 meter saja. Kini, begitu pintu
dibuka, terhampar jalan selebar 6 meter.
"Ini mobil juga saya beli setelah ada jalan inspeksi
ini. Kalau mau pakai mobil, kami sewa sopir karena anak saya belum berani
membawanya," kata Sukadi sambil menunjukkan sebuah mobil sedan yang
diparkir di garasi rumahnya.
Keberadaan jalan inspeksi itu memang mengubah wajah sejumlah
lokasi, antara lain Kampung Pangkalan di RT 008 RW 002 Kelurahan Semanan,
Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, yang juga tempat tinggal Sukadi.
Jalan inspeksi tidak sekadar jalan bagi petugas untuk
memantau kondisi sungai. Bagi warga, jalan inspeksi membuat rumah mereka tak
lagi di gang sempit, tetapi di jalan yang bisa dilalui dua mobil.
Dampak ekonomi mengikuti perubahan arah hadap rumah pula.
"Dulu, harga kamar kos di tempat saya Rp 250.000-Rp 350.000 per bulan. Sekarang
sampai Rp 500.000, bahkan Rp 800.000 per bulan untuk rumah petak dengan dua
kamar," kata Sukadi, yang juga Ketua RT 008 RW 002 Semanan.
Minto (60), pedagang bakso di kawasan itu, juga merasakan
keuntungan jalan inspeksi. Dia tidak lagi berkeliling menjajakan bakso.
Gerobaknya kini diletakkan di depan rumah, di tepi jalan inspeksi. Bagian dalam
rumah dijadikan tempat duduk bagi pembeli bakso.
Sebagai salah satu jalan pelintasan yang cukup ramai,
penjualan bakso Minto kini ikut berlipat sampai dua kali dibandingkan
sebelumnya.
Perubahan arah hadap rumah ke sungai juga menumbuhkan
kesadaran warga untuk tidak membuang sampah di sungai juga semakin tinggi.
"Enggak enak lihat sungai kotor. Jadi, warga juga
berusaha enggak buang sampah di sungai," ucap Sanikem (50), warga RT 008
RW 002 Semanan.
“Memotong Bangunan”
Sebelum merasakan beragam keuntungan, warga yang bermukim di
tepi Mookervaart harus menghadapi kenyataan pahit pertengahan tahun lalu. Luas
rumah mereka harus dipotong untuk dijadikan jalan. Pemilik hanya mendapatkan Rp
1 juta dari pemerintah. "Padahal, biaya renovasi rumah ini sampai Rp 50
juta. Namun, ya tidak apa-apa karena demi kebaikan kami juga," kata
Sukadi.
Dia mengatakan, selama proses pembebasan lahan untuk jalan
inspeksi, tidak ada kendala dari warga setempat. Warga sadar bahwa mereka akan
mendapatkan manfaat setelah jalan inspeksi ini terbangun.
Sayangnya, tidak semua jalan inspeksi yang sudah terbangun
itu dilengkapi tali air untuk mengalirkan air hujan ke Mookervaart. Akibatnya,
air hujan melimpas ke rumah warga.
Selain itu, lebar jalan inspeksi yang sudah dibangun tidak
seragam. Ada yang lebarnya mencapai 10 meter, ada yang hanya sekitar 6 meter.
Di sejumlah titik, jalan inspeksi ini berhenti di lokasi
penampungan sampah milik warga. Setelah itu, kendaraan yang melintas diarahkan
ke jalan lama yang membelah permukiman warga. Kondisi ini seperti terlihat di
ujung jalan inspeksi yang melintasi rumah Sukadi.
Terlepas dari masalah itu, harapan akan adanya jalan inspeksi
muncul di lokasi lain. Asep Zaenal Abidin (42), Ketua RW 005 Kelurahan Semanan,
Kalideres, mengatakan, warga siap bila tanah mereka harus berkurang karena
jalan inspeksi.
"Sampai sekarang, pembangunan jalan inspeksi masih
putus-putus. Di wilayah Semanan, jalan inspeksi baru sampai di RW 002,"
kata Asep.
Menurut Asep, jalan inspeksi bisa mengurangi beban lalu
lintas Jalan Daan Mogot. Saat ini kemacetan kerap mendera Jalan Daan Mogot yang
merupakan jalan reguler utama penghubung Jakarta dan Kota Tangerang.
Di sisi lain, terbuka juga kemungkinan terjadi kerawanan
sosial, seperti pencurian kendaraan bermotor milik warga saat jalan inspeksi
sudah terbangun.
Di lapangan, tepian Sungai Mookervaart di wilayah Jakarta
masih banyak dijadikan bangunan rumah warga yang berjajar rapat hingga tanggul
sungai.
Di RT 009 RW 002 Kelurahan Rawa Buaya, Cengkareng, misalnya,
masih ada rumah yang berdiri di tepi sungai. Rumah pompa, yakni Pompa Bojong,
berdiri di tepi Sungai Mookervaart. Sementara jalan yang ada di RT ini masih
jalan lama yang membelah permukiman warga.
Sujari (43), Ketua RT 009 RW 002 Rawa Buaya, mengatakan,
pemilik bangunan di tepi Sungai Mookervaart mempunyai sertifikat tanah. Oleh
karena itu, pembebasan lahan belum bisa dilakukan sebelum ada lahan pengganti.
"Di lokasi ini ada sekitar enam sertifikat dengan panjang sekitar 120
meter," ucapnya.
TANGGAPAN
Menanggapi tiga (3) kutipan berita diatas,
Teori penjelasan dan peraturan perundang-undangan, peraturan menteri yang telah
tertulis diatas sangat relevan dengan fakta-fakta yang tersaji dalam 3 kutipan
berita diatas. Tepi sungai sudah semestinya bersih dari segala macam pemukiman
penduduk lebih lagi diatas sungai. Fakta yang ada sungai dikota besar tertutup
bangunan-bangunan mulai dari bangunan kumuh seadanya sampai hotel berbintang
sehingga sungai semakin jauh berkurang lebarnya dan menyebabkan banjir. Masalah
tersebut mau diselesaikan dengan mengembalikan fungsi dan lebar sungai sebagaimana
mestinya sesuai lebar garis sempadan sungai. Salah satunya cara agar fungsi dan
lebar sungai kembali, yaitu dengan menormalisasi sungai dan membuat jalan
inspeksi di kiri dan kanan sungai selebar peraturan sempadan sungai. Cara
tersebut tidak melanggar peraturan Karena tertulis pada Peraturan Menteri (PUPR)
tentang pemanfaatan sungai. Namun cara tersebut harus mengorbankan permukiman
warga di kiri dan kanan sungai dan timbul masalah baru.
Masyarakat yang bertempat tinggal
ditepi sungai banyak yang sudah tinggal berpuluh-puluh tahun, cara pemerintah
saat ini dengan memindahkan warga tepi sungai ke rusun sebenarnya baik namun
kehidupan warga menjadi terganggu Karena hidup mereka harus berpindah. Cara
yang ditawarkan oleh kutipan berita diatas sangat baik yaitu dengan memotong
bangunan yang berada digaris sempadan sungai lalu diberikan ganti rugi atau
membangun rumah tingkat disekitar daerah tersebut sebagai rumah pengganti. Jasa
arsitek pun bisa diandalkan untuk membantu dalam program ini.
Walau warga rugi hanya diberi ganti
rugi yang sangat kecil namun warga yang rumahnya terkena pemotongan bisa hidup
lebih baik, bersih dan tertata. Garis sempadan sungai pun bisa dibuat jalan
inspeksi sungai. Jalan inspeksi sungai dapat memperbaiki ekonomi masyarakat
didaerah tepi sungai Karena ada jalan akses baru untuk keluar masuk kendaraan. Jalan
tersebut juga bisa menjadi jalur hijau dan tempat sosialisasi baru bagi masyarakat.
Pada hakikatnya memang ada untung ada
rugi, ada rugi pasti ada untung. Walau awalnya
warga tepi sungai harus rugi namun program jalan inspeksi dan penataan bangunan
tepi sungai dapat membantu kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Comments
Post a Comment